Definisi Emosional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah Model Kemampuan seseorang untuk memberi Makna Spiritual terhadap Pemikiran, Prilaku/Ahlak dan Kegiatan, serta Mampu Menyinergikan IQ (Intelegent Quotient) yang terdiri dari IQ Logika/Berpikir dan IQ Financial / Kecerdasan memenuhi kebutuhan hidupnya/keuangan, EQ (Emosional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) secara komprehensif.
Pengertian EQCiri Mendasar Kecerdasan IntellegensCiri Perilaku IntellegenCerdasMemerlukan pemusatan perhatianPengertian IQ Intellegence QuotientPengertian EQ/ Kecerdasan EmosiPengertian SQ Spiritual QuotientCiri SQ Tinggi Pengertian CQ Creativity Quotient5 ciri kreativitas Kreativitas terdiri dari dua unsur Hambatan untuk menjadi Kreatif Pengertian AQ Adversity QuotientAnalisa SWOTPeran IQ, EQ,SQ,CQ,dan AQ dalam Dunia KerjaLandasan EQ dan SQ Dalam KepemimpinanKonsep Kesimbangan AQ, IQ, EQ dan SQ dalam Kurikulum dan Saran Pengertian EQ Menurut Daniel Goleman Emotional Intelligence-1996, Orang yang mempunyai IQ Tinggi tapi EQ rendah cenderung mengalami kegagalan yang lebih besar dibanding dengan orang yang IQ nya rata-rata tapi EQ nya tinggi, artinya bahwa penggunaan EQ atau olah rasa justru menjadi hal yang sangat penting Kecerdasan adalah Sebagian kumpulan kapasitas seseorang untuk bereaksi serah dengan tujuan, berfikir rasional dan mengelola lingkungan secara efektif. Menurut Gardner 2002, Karakteristik Mendasar Kecerdasan Intellegens Kecerdasan Intelligen mencakup 3 hal Kemampuan untuk menyelasaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan memunculkan penghargaan dalam budaya seorang Individu Ciri Mendasar Kecerdasan Intellegens To judge well dapat menilai. To comprehend well memahami secara keseluruhan. To Reason well memberi alasan dengan baik Ciri Perilaku IntellegenCerdas Masalah yang dihadapi merupakan masalah baru bagi yang bersangkutan. Serasi tujuan dan ekonomis efisien. Masalah mengandung tingkat kesulitan. Keterangan pemecahannya dapat diterima. Sering menggunakan abstraksi. Bercirikan kecepatan. Memerlukan pemusatan perhatian Faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Intellegen Pembawaan ; Kapasitas/ batas kesanggupan. Kematangan; telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya, erat kaitan dengan umur. Pembentukan ; pengaruh dari luar. Minat Kebebasan ; terutama dalam memecahkan masalah Pengertian IQ Intellegence Quotient Intellegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara logis, terarah, serta mengelola dan menguasai lingkungan secara efektif Marten Pali, 1993 Kesimpulan IQ Frustasi dan kegagalan dalam bekerja dapat berkurang jika pelaku profesi mencari informasi dangan berbagai cara/strategi bekerja, dengan berbagai alternative, banyak pikiran untuk keberhasilan dalam berkarya. Situasi yang kondusif untuk bekerja bisa diciptakan melalui pemberian motivasi atau menumbuhkan motivasi diri sendiri dengan konsep bekerja yang berfokus pada kelebihan-kelebihan yang dimiliki setiap individu. Pengertian EQ/ Kecerdasan Emosi EQ EMOTIONAL QUOTIENT Emosi adalah letupan perasaan seseorang. Kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik dan berhubungan dengan orang lain DANIEL GOLDMAN. Kemampuan mengerti dan mengendalikan emosi PETER SALOVELY & JOHN MAYER Bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosisl dan adaptasi sosial SEAGEL. Aspek EQ, menurut Salovely & Goldman ada lima Kemampuan mengenal diri kesadaran diri. Kemampuan mengelola emosi penguasaan diri. Kemampuan memotivasi diri. Kemampuan mengendalikan emosi orang lain. Kemampuan berhubungan dengan orang lain empati. Perilaku Cerdas Emosi Menghargai emosi negative orang lain. Sabar menghadapi emosi negative orang lain. Sadar dan menghargai emosi diri sendiri. Emosi negative untuk membina hubungan. Peka terhadap emosi orang lain. Saat emosional adalah saat mendengarkan. EQ Tinggi adalah Berempati Mangungkapkan dan memahami perasaan. Mengendalikan amarah. Kemandirian. Kemampuan menyesuaikan diri. Disukai Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi. Kesimpulan EQ EQ dianggap sebagai persyaratan bagi kesuksesan pribadi. Alasan utamanya adalah masyarakat percaya bahwa emosi-emosi sebagai masalah pribadi dan tidak memiliki tempat diluar inti batin seseorang juga batas-batas keluarga. Dr. DANIEL GOLEMAN memberikan satu asumsi betapa pentingnya peran EQ dalam kesuksesan pribadi 90 % prestasi kerja ditentukan oleh EQ. Pengetahuan dan teknis hanya berkontribusi 4 % Membangun benteng untuk mencapai keterampilan Emosional Dr Patricia Patton Paham pentingnya peran emosi dan pemahaman yang memungkinkan anda merasakan perbedaan besar dalam bagaimana kita mengendalikan emosi. Mengekspresikan kanyataan bahwa tidak seorangpun memiliki perasaan yang sama tentang persoalan yang serupa. Mengekang emosi adalah tindakan yang tidak sehat yang dapat mengarahkan kita kepada hal-hal yang negative. Mempertajam intuisi pemecahan masalah. Mengetahui keterbatasan diri sendiri. Memungkinkan orang lain menjadi diri sendiri. Mengetahui diri sendiri dan menghargai potensi yang kita miliki. Mengetahui pentingnya kasih sayang, perhatian,dan berbagi bersama Pengertian SQ Spiritual Quotient Menurut Robert K Cooper, Meningkatkan kecerdasan dengan “masuk kedalam hati dan keluar dari fikiran”. SQ SPIRITUAL QUOTIENT. Spiritual adalah inti dari pusat diri sendiri. Kecerdasan spiritual adalah sumber yang ilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu Agus N. Germanto, 2001 Menurut VICTOR FRANK PSIKOLOG Pencarian manusia akan makna hidup merupakan motivasi utamanya dalam hidup. Kearifan spiritual adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual, yang cenderung lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nurani kita, kecerdasan spiritual “SQ”. Ciri SQ Tinggi Memiliki prinsip dan visi yang kuat. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan. a. Memiliki Prinsip dan Visi Yang Kuat Prinsip adalah suatu kebenaran yang hakiki dan fundamental berlaku secara universal bagi seluruh umat. Prinsip merupakan pedoman berprilaku, yang berupa nilai-nilai yang permanen dan mendasar. 3 prinsip utama bagi orang yang spiritualnya tinggi Prinsip kebenaran. Prinsip Keadilan. Prinsip Kebaikan. b. Visi yang kuat Visi adalah cara pandang bagaimana memandang sesuatu dengan visi yang benar. Suatu ungkapan seorang pakar “NO RELIGION WITHOUT MORAL, NO MORAL WITHOUT LAW” Oleh karena itu SDM sebagai pelaksana suatu profesi haruslah yang beraga dalam arti beriman dan bertakwa, bermoral dalam arti taat pada hukum. Pengertian CQ Creativity Quotient KECERDASAN KREATIVITAS Adalah potensi seseorng untuk memunculkan sesuatu yang penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua bidang dalam usaha lainnya. GUIL FORD mendeskripsikan 5 ciri kreativitas Kelancaran Kemampuan memproduksi banyak ide. Keluwesan Kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan jalam pemecahan masalah. Keaslian Kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinil sebagai hasil pemikiran sendiri. Penguraian Kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci. Perumusan Kembali Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan melalui cara yang berbada dengan yang sudah lazim. Kreativitas terdiri dari dua unsur Kepasihan kemampuan menghasilkan sejumlah gagasn dan ide prmecahan masalah dengan lancar. Keluwesan Kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda dan luar biasa untuk memecahkan suatu masalah Hambatan untuk menjadi Kreatif Kebiasaan, waktu, dibanjiri masalah, tidak ada masalah, takut gagal, kebutuhan akan sebuah jawaban sekarang, kegiatan mental yang sulit diarahkan, tahut bersenang-senang, kritik orang lain. Beberapa cara memunculkan gagasan kreatif yaitu Kuantitas gagasan. Teknik brainstorming. Sinektik. Memfokuskan tujuan. Kesimpulan CQ SDM sebagai pelaksana suatu profesi dengan tingkat kecerdasan kreativitas CQ yang tinggi, adalah mereka yang kreatif, mampu mencari dan menciptakan terobosan-terobosan dalam membatasi berbagai kendala atau permasalahan yang muncul dalam lembaga profesi yang mereka geluti. Pengertian AQ Adversity Quotient KECERDASAN DALAM MENGHADAPI MASALAH Adalah kemampuan/ kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup. Paul G Stoltz, merinci AQ berdasarkan penelitiannya AQ tingkat “Quitters” orang-orang yang berhenti. AQ tingkat “ Campers” Orang yang berkemah AQ tingkat “Climbers” Orang yang mendaki AQ rendah 0 – 50 AQ sedang 95 – 134 AQ tinggi 166 – 200 Analisa SWOT Merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk menelaan tingkat keberhasilan pencapaian cita-cita/ karier. “S” Strenght kekuatan adalah sebuah potensi yang ada pada diri sendiri yang mendukung cita-cita/karier. “W” Weakness Kelemahan adalah seluruh kekurangan yang ada pada diri sendiri dan kurang mendukung cita-cita/karier. “O” Opportunity peluang adalah segala sesuatu yang dapat menunjang keberhasilan cita-cita/karier. “T” Traits Ancaman adalah segala sesuatu yang dapat menggagalkan rencana cita-cita/karier yang berasal dari diri sendiri atau lingkungan. Peran IQ, EQ,SQ,CQ,dan AQ dalam Dunia Kerja IQ Intelectual Quotient atau pengalaman, skill, pengetahuan, dan berbagai hal yang berhubungan dengan kecerdasan intelektual dan dapat meningkatkan derajat kita ke tempat yang lebih tinggi dari orang lain. Dengan begitu kesuksesan akan dapat lebih mudah dicapai. Apakah benar begitu? Selanjutnya EQ Emotional Quotient. Dengan kecerdasan emosional, kita justru akan lebih mendalami kecerdasan intelektual kita dalam berbuat dan berperilaku. Karena hanya dengan IQ saja, tentu sangat mustahil orang bisa meraih kesuksesan. Tergantung kesuksesannya seperti apa dulu, kalo suksesnya membunuh orang-orang nggak berdosa dengan membantainya satu persatu, dengan kemampuan menembak, merakit bom, memilih senjata, berkelahi, membuat virus komputer, melakukan aktifitas hacking dll. Sebuah penelitian di Amerika dan Jepang menyatakan bahwa dari 100% orang sukses, hanya 10-20 persen aja yang berpendidikan tinggi, berijazah lengkap, dan tentunya dengan IQ yang di atas rata-rata, selebihnya, 80-90 persen hanya lulusan SMA, SMP, atau bahkan tidak punya latar belakang pendidikan, kebanyakan dari mereka mengawali karir dari berdagang. Hal ini membuktikan bahwa IQ bukanlah segala-galanya. Dari beberapa penelitian juga dikatakan bahwa justru orang-oarang yang ber IQ tinggi malah memiliki kesulitan dalam bergaul, berinteraksi, mengembangkan diri, dan ber-attitute baik. Ternyata, kecerdasan IQ dan EQ aja belum cukup untuk menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang, masih ada satu hal lagi yang selama ini kita lupakan. Memang, kedua hal tersebut sudah cukup memberikan peranan dalam meraih kesuksesan, tapi, apakah kita akan puas dengan kesuksesan-kesuksesan kita. kita akan terus meraih apa yang kita inginkan. terus dan terus meneru. Tapi pernah nggak sih kita menyadari bahwa segala hal yang kita raih dalam kesuksesan itu justru malah akan menjerumuskan kita dalam-dalam? Berbagai pengalaman yang pernah gue baca, masalahnya sama, yaitu nggak adanya kepuasan dalam hidup meski kita berada dalam kesuksesan tertinggi. Beberapa pakar kecerdasan telah menemukan tiga tingkatan alam dalam otak manusia, yaitu alam sadar IQ, alam pra sadar EQ, dan sebuah unsur terdalam otak manusia yang disebut GOD SPOT, sebuah titik terang yang berada di alam bawah sadar manusia. Hal itulah yang ternyata dapat meningkatkan potensi kecerdasan spiritual atau SQ Spiritual Quotient kita. Landasan EQ dan SQ Dalam Kepemimpinan Seorang pemimpin yang hanya berlandaskan pada IQ saja, maka visi dan misi serta orientasi kerjanya sebatas pada hal-hal yang sifatnya materialistis, matematis dan pragmatis, dengan mengenyampingkan hal-hal yang berbau spirituallits dan sentuhan hati nurani. Pencapain visi dan misi oleh pemimpin yang hanya mengandalkan IQ, dilakukan dengan prinsip just do it, sehingga segala bentuk kegagalan ataupun keberhasilan, disikapi sebagai prinsip just a game. bahkan ultimate goal nya juga masih sebatas mancari kepuasan materiil atau duniawi. Pemimpin yang menerapkan nilai-nilai EQ akan menggunakan hatinya dalam memimpin, tidak semata-mata logika sebagaimana pendekatan IQ di atas. Penerapan EQ ini ditunjukan dengan sifat sidik jujur, Tabligh berani menyampaikan kebenaran, Amanah terpercaya, dan Fatonah berpendirian kuat dalam memimpin. Namun pendekatan EQ ini sasaran akhirnya cenderung masih tetap sama dengan pendekatan IQ yakni sebatas mengejar kepuasan materiil atau duniawi. Konon di dalam dunia pendidikan negara maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika ada materi tambahan yang berkaitan erat dengan life skill dan leadership. Disitu aspek kejujuran, pemahaman akan individu dan masyarakat, ditambah basic technology diberikan sebagai menu sehari-hari. Namun konsep itu nampaknya masih terlepas dari nilai-nilai luhur ajaran agama, hanya sebatas pada hubungan antar sesama manusia dengan mengabaikan hubungan dengan Tuhan Pencipta Semesta Alam. Pemimpin yang mendalami dan menerapkan nilai-nilai SQ dipadukan dengan nilai-nilai EQ, ultimate goal nya semata-mata mendapat ridha Allah SWT. Visi dan misinya sangat jauh kedepan karena dihasilkan dari proses memahami masa lalu sejarah yang sangat jauh ke belakang. Mulai dari upaya memahami penciptaan alam dan manusia sampai meyakini bahwa tujuan akhirnya tidak lain adalah akhirat. Dengan demikian visinya tidak sebatas sampai akhir kehidupan dunia saja, tapi sampai pada kehidupan akhirat, dimana semua perilaku kita di dunia akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT dan kita yakin bahwa pengadilan akhirat akan kita hadapi. Oleh karena itu prinsip just do it nya adalah mengerjakan segala sesuatu dengan penuh keikhlasan karena melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang pemimpin, semata-mata mengharap ridha Allah SWT, sehingga ukuran yang digunakannya bukan lagi ukuran manusia tapi sudah menggunakan ukuran Tuhan Pencipta Alam Semesta. Demikian juga dalam hal pengukuran kinerja karyawannya, tidak seamta-mata hanya berorientasi pada hasil seperti yang populer dikembangkan di Barat, tetapi kriteria proses untuk mencapai hasil tersebut juga sangat diperhatikan. Kriteria berdasarkan hasil hanya berfokus pada apa yang telah dicapai atau dihasilkan ketimbang bagaimana sesuatu itu dicapai atau dihasilkan. Salah satu contoh definisi kinerja yang dikemukakan seorang ahli barat John Whitmore, ” Kinerja diartikan sebagai kualitas dan Kuantitas output dari suatu proses manajemen “. Hal ini berarti, kriteria berdasarkan hasil hanya tepat diberlakukan bagi organisasi yang tidak peduli bagaimana hasil ini dicapai. Justru inilah banyak menyebabkan timbulnya kemerosotan moral dan etika karena mereka dapat melakukan dengan berbagai cara untuk mencapai hasil yang diharapkan. Padahal definisi kinerja yang berlandaskan ESQ adalah “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika”. dengan mengacu pada definisi ini, maka kinerja itu dapat berupa produk akhir barang dan jasa dan atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keterampilan spesifik yang dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi. Kriteria berdasarkan perilaku ini sangat penting karena mampu mengindentifikasikan bagaiaman pekerjaan itu dilaksanakan. Kriteri ini sangat penting khusunya bagi pekerjaan yang membutuhkan hubungan antar personal, sebagai contoh dalam toko swalayan, apakah kasir-kasirnya dean pelayannya ramah atau menyenangkan pelanggan ? Toko itu harus membuat daftar perilaku tertentu yang harus diikuti karyawan, perilaku-perilaku itu dapat diukur langsung oleh pelanggan/pembeli. Konsep Kesimbangan AQ, IQ, EQ dan SQ dalam Kurikulum Pendidikan. Di lingkungan dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan IQ, EQ, SQ dan AQ perlu mendapat bobot perhatian yang seimbang. Hal ini penting mengingat IQ saja tidak menjamin keberhasilan hidupseseorang, demikian jugab kalau haya sekedar SQ dan EQ tidak akan mampu mendukung keberhasilan hidup seseorang secara utuh, material dan keseluruhan aspek kecerdasan ini sangat efektif kalau dilakukan dalam kegiatan bimbingan konseling disetiap lembaga pendidikan. Pemahaman EQ dan SQ akan lebih mudah dilakukan melalui kegiatan tatap muka secara langsung dengan menggugah hati nurani setiap peserta didik untuk berperilaku baik dan mampu negendalikan diri serta berinteraksi dengan orang lain secara baik pula. Kalau bimbingan konseling ini sudah dilakukan secara efektif dengan memesukan semua aspek kecerdasan yang diperlukan, maka sudah saatnya penilaian keberhasilan siswa/peserta didik tidak sekedar pada tataran output produk, tapi bagaimana proses untuk mencapai output tersebut. Penilaian keberhasilan peserta didik bukan hanya dilihat dari ketepatapan waktu menyelesaikan seluruh program studi, tapi bagaimana perilaku siswa saat mengikuti evaluasi/ujian, apakh dengan cara -cara yang jujur, tidak mencontek atau tidak menjiplak makalah orang lain, tidak berupaya mencari bocoran soal dari lain-lain. Kalau kriteria tidak secara cermat dipantau dan diperhitungkan, maka hasilnya akan nampak takala lulusan ini mengabdikan ilmunya ditempat kerja, ia akan terbiasa berperilaku tidak jujur, korupsi, kolusi, dan perilaku amoral lainnya ia akan selalu mencari jalan pintas yang mudah ia lakukan untuk mencapai tujuannya walaupun harus menyikut orang lain, menginjak kepala orang, melanggar norma dan autran yang ada, dan lain-lain. Padahal kalau seseorang memiliki kecerdasan adversitas Adversity Intelligence akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan. Menurut Stoltz2000 indikator-indikatornya dapat dikelompokkan menjadi empat dimensi, yakni dimensi kendali, dimensi asal usul dan pengakuan, dimensi jangkauan serta dimensi daya tahan. Dimensi kendali terkait dengan EQ yakni sejauh mana seseorang mampu mengelola kesulitan yang akan datang. Dimensi kedua tentang tentang asal usul sangat terkait erat dengan SQ, yakni sejauhmana seseorang mempersalahkan dirinya ketika ia mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauhmana seseorang mempersalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan dan kegagalannya. Dan yang lebih penting lagi adalah, sejauh mana kesediaan untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut. Makin tinggi kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kegagalan atau kesulitan yang menghadang, makin tinggi usaha yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut. Dimensi jangkauan yang menyatakan sejauhmana kesulitan ini akan merambah kehidupan seseorang menunjukkan, bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Dalam teori kecerdasan emosional, menurut Goleman kata jangkauan ini berhubungan dengan lamanya seseorang terlarut dala suasana hati yang tidak menentu. Dimensi daya tahan dimaksudkan bahwa makin tinggi daya tahan seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang dihadapinya. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa AQ sangat berhubungan erat dengan IQ, EQ dan SQ. Pengukuran kecerdasan adversitas yang dinyatakan dengan AQ Adversity Quotient yaitu nilai yang diperoleh dengan pembagian tertentu Memahami Potensi Qalbu Dalam Kepemimpinan Setiap manusia akan dipengaruhi oleh dua bisikan ke dalam qalbunya yakni bisikan baik dari malaikat dan bisikan buruk/jahat dari iblis/syetan. Sementara itu akal kita akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada disekitarnya melalui penglihatan dan pendengaran yakni fenomena alam, tata nilai, adat, budaya dll. Dalam menyaring input-input ini terjadi interaksiantara akal dan kalbu. Kalbu dengan dimensi Shadr nya akan mengolah hal-hal yang menyangkut aspek emosional. Shadr adalah potensi kalbu untuk menangkap seluruh nuansa alam dan manusia dari kacamata rasa, yang mencakup kepekaan atas keindahan, kesopanan, dan kelembutan. Shadr ini juga mempunyai potensi untuk mampu memberikan penghargaan atau apresiasi terhadap nilai-nilai keindahan, budaya dan menghormati orang lain. Dimensi fu’ad memberikan ruang untuk akal, berfikir, bertafakur, memilih dan mengolah seluruh data yang masuk dalam qalbu dan aqal manusia. Fu’ad melihat berbagai alamat tanda yang kemudian menjadi ilmu untuk mewujudkannya dalam bentuk amal/perilaku. Pengawal setia Fu’ad ini adalah akal, zikir, pikir, pendengaran, dan penglihatan. Fungsi akal membantu fua`ad untuk menangkap seluruh fenomena yang bersifat lahir, wujud, dan nyata dengan mendayagunakan fungsi nazhar “indra penglihatan” sedangkan hal-hal yang bersifat perenungan. Pemahaman mendalam terhadap hakikat yang bersifat ghalib tidak nyata, dan tidak tampak dalam penglihatan diserahkan kepada potensi pikir dengan mendayagunakan fungsi sam`a “pendengaran”. Akal berkaitan dengan keadaan untuk menangkap seluruh gejala alam yang tampak nyata. Seseorang yang IQ nya tinggi belum tentu termasuk katagori orang yang mendayagunakan fu`ad untuk mengenal hakikat dari penciptaan langit dan bumi serta segala yang tampak. Fu`ad dengan kandungan akal, zikir dan pikir mampu mengetuk nurani untuk mengambil keputusan secara kritis, berani bertindak, dan bertanggung jawab. Dalam mengambil sikap atau keputusan, peranan fu`ad merupakan pasukan qalbu yang paling aterdepan. Fu`ad tampil sebagai assabiqunal awwalun dari pendayagunaan potensi qalbu. Fu`ad yang berfungsi akan menyebabkan diri kita selalu terlibat dalam tanya jawab, apakah dirinya berpihak kepada kebenaran ataukah sedang berada dalam posisi yang salah. Keseluruhan interaksi dari ketiga potensi qalbu ini kemudian akan dirangkum dalam nafs ego nafs inilah yang akan mengambil keputusan akhir yang akan ditindaklanjuti secara fisiologis. Hidup manusia diwarnai oleh pertarungan sengit antara malaikat dan iblis untukmemperebutkan posisi strategis di dalam nafs. Oleh karena itu semua perbuatan manusia selalu didahului pro-kontra, terutama jika perbuatan itu belum menjadi sesuatu yang lazim dilakukan oleh yang bersangkutan, kalau yang menang adalah iblis/syetan, perbuatannya sudah dapat dipastikan perbautan buruk yang akan merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Sedangkan jika yang menang adalah malaikat, maka akan terjadi sebaliknya. Seluruh potensi qalbu harus selalu disinari cahaya illahi Ruh kebenaran, sehingga ia akan tetap berada didalam jalan kebenaran, mengingat peranan iblis yang dengan gigih berusaha untuk memadamkan cahaya illahi dan menggantinya dengan nyala api yang bernuatan elemen-elemen rendah dan fana yang penuh dengan nafsu hewaniah, maka seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk bertanya kepada hati nurani dan menggugah hati nurani masyarakat yang dipimpinnya, sehingga dapat melaksankan berbagai kebijakan pimpinannya dengan baik. inilah inti dari pelaksanaan manajemen sialturahmi, yang mendayagunakan peran hati nurani, sehingga implementasi dari silaturahmi ini bukan hanya sekedar perbuatan lahir/fisik/jasad, tapi sudah melibatkan peran hati nurani, yang ditunjukkan dengan ketulusan untuk saling mencintai dan menyayangi sehingga timbul saling percaya, saling hormat menghormati antara pemimpin dan bawahannya. IQ Intelligences Quotient tinggi merupakan karunia yang patut disyukuri, namun faktor keberhasilan seseorang bukan satu-satunya karena kualitas IQ-nya. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan karier dan kemampuan Anda membina hubungan salah satunya Emotional Intelligences EI. Menurut Daniel Goleman penulis Working with Emotional Intelligences mengatakan, hampir 70 persen dari performa karier tergantung pada kemampuan mengenal dan memaksimalkan potensi diri, memotivasi diri serta kemampuan bersosialisasi. Bisa dikatakan dengan kemampuan tersebut, seseorang mampu mencari celah untuk memaksimalkan kesempatan yang datang padanya. Selain itu, kecerdasan emosi merupakan kunci membuka jaringan hubungan bisnis yang efektif. Menurut Doug Lennick, Vice President American Express, mengatakan kompetensi emosi adalah kualitas diri terpenting yang harus dikembangkan dan sebagai akses pengalaman yang berharga. Dalam lingkungan kerja sehari-hari, Anda pasti menghadapi permasalahan nonteknis lebih kompleks dibanding hanya sekedar mengandalkan IQ saja. Sedangkan menurut Warren Bennis, seorang pengarang dari buku Becoming a Leaders menemukan bahwa kecerdasan emosi lebih berpengaruh dibandingkan IQ di bidang karier seseorang. Kendati IQ juga memegang peranan penting, tapi tidak bisa membuat seseorang unggul, sedangkan EQ bisa. Dengan kemampuan EQ seseorang memiliki kapasitas menggunakan emosi secara efektif dan menjadikan Anda sebagai manajer yang baik bagi dirinya sendiri. Mengapa? Karena kemampuan EQ mengefektifkan performa hubungan kerja dengan teman sejawat, atasan atau klien bisnis Anda. Susan Dunn, penulis artikel The Benefits of EQ Coaching for Mid-Level Executives and Professional mengatakan, kebanyakan para eksekutif, CEO, dan profesional memiliki kemampuan analisa dan fokus. Mereka juga mahir menggunakan angka, namun 90 persen dari mereka memiliki kemampuan komunikasi verbal yang baik. Banyak juga profesional yang mengembangkan pendidikan formal bertahun-tahun, namun tidak memiliki pengalaman dan pelatihan, tidak mampu bertahan di dunia kerja. “Kemampuan mengelola EQ menjadi nilai jual tersendiri bagi seorang pekerja, sekali Anda belajar mengenai kreativitas dan hal-hal baru, Anda pasti tak bisa melupakannya,”ujarnya. Bukan hanya kepintaran menyelesaikan pekerjaan saja yang dituntut tapi saat menghadapi situasi yang tidak terduga kesiapan mental Anda dituntut disini. Salah satu contohnya adalah pria terkaya di dunia menurut majalah Forbes, yaitu William Gates III, mengakui bahwa dirinya memang kuliah di Harvard University meski nilai akademisnya tergolong biasa-biasa saja. Jadi, kecerdasan seseorang secara akademis tetap menjadi poin lebih, meski bukan hanya karena IQ. “Seseorang mampu mengembangkan EQ sedangkan IQ umumnya tidak bisa ditingkatkan lagi,”katanya. Susan menambahkan, kecerdasan emosi tak hanya membawa seseorang pada kesuksesan tapi juga keseimbangan hidup, kesehatan, dan kebahagiaan. Selain itu juga mengembangkan bakat kepemimpinan serta kemampuan melihat hal-hal yang berpotensi menjadi besar, itulah kemampuan EQ. Kecerdasan Intelejensi. Keberhasilan manusia menurut pendapat umum dipengaruhi oleh peran besar kecerdasan intelegensi atau IQ. Artinya hanya mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, akademis, matematis saja yang mampu mewujudkan keberhasilan seseorang termasuk keberhasilan dalam pekerjaan. Kepintaran banyak dimanfaatkan dalam dunia kerja misalnya dalam level manajemen atas sebagai pihak perencana strategis yang akan menentukan nasib organisasi di masa depan. Kemampuan untuk menyusun program-program jangka panjang, prediksi ke masa depan, menyusun perkiraan-perkiraan strategis, memerlukan kemampuan intelektual tinggi untuk keperluan analisis-analisis mendalam. Hal ini memerlukan intelejensi baik agar segala yang ingin diraih dapat terwujud dengan efektif. Demikian juga untuk manajemen teknis dan operasional diperlukan kemampuan yang tinggi untuk mensukseskan program-program strategis yang telah disusun oleh top manajemen. Kebanyakan perusahaan memanfaatkan orang-orang yang ber-IQ tinggi dengan memanfaatkan seleksi awal berupa tes kecerdasan intelejensi. Harapan dari perlakuan seleksi seperti ini adalah memperoleh tenagatenaga yang berkualitas yang dapat membangun perusahaan ke arah pencapaian kinerja tinggi. Banyak dari mereka yang berhasil lulus dalam seleksi berbasis IQ ini memiliki kinerja yang tinggi dan mendapat karir baik dalam pekerjaannya. Dengan demikian menurut teori kecerdasan kognitif, bahwa IQ seseorang berpengaruh positif terhadap kesuksesan di dalam bekerja dan berkarir. Walaupun IQ adalah tolak ukur dari kepintaran seseorang, IQ bukan merupakan satu-satunya indikator kesuksesan. IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan IQ-EQ, 2002. Untuk itu seseorang yang ber-IQ tinggi, belum tentu mutlak akan berhasil memecahkan permasalahan-permasalahan di dalam dunia kerja yang kompleks, tetapi perlu adanya sisi cerdas lain dari diri karyawan tersebut. Kecerdasan Emosional. Goleman seorang peneliti ilmu-ilmu perilaku dan otak, Doktor dari Harvard University, menyatakan bahwa IQ hanya berpengaruh 5-10 % terhadap keberhasilan, sisanya adalah faktor kecerdasan lain. Lebih lanjut Goleman menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain tersebut adalah Emotional Quotient EQ Goleman, 2002. EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan, ketekunan, menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata, sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain, ketabahan menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak sosial dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju tingkat prestasi yang lebih baik. Sebuah penelitian pada hampir orang di 36 negara dan mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan Stein dan Book, 2002. Ini menunjukkan bahwa seorang karyawan juga akan berhasil jika di dalam diri mereka terbentuk nilai-nilai EQ yang tinggi. Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa IQ dapat digunakan untuk memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam pekerjaan, EQ di sisi lain berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan. Jan Derksen dan Theodore Bogels di Belanda dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan yakni orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan kemampuan menghasilkan banyak uang Stein dan Book, 2002. Penciptaan kesadaran akan EQ ini seperti merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan untuk siap terjun dalam dunia kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi tinggi, stress, sehingga memerlukan pengelolaan emosional yang baik. Seorang pakar sekaligus pengamat sumber daya manusia, Parlindungan Marpaung memberikan solusi untuk mengelola emosional dalam bekerja Marpaung, 2002. Ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan dalam rangka jenjang karier seseorang maupun pengembangan pribadinya, tentu menjadi satu hal yang menakutkan bagi seseorang setelah dia menyadari bahwa EQnya tidak terlalu menonjol. Satu hal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan bangga dengan gelar/pengetahuan yang dimilikinya IQ. Oleh karena itu, perlu beberapa langkah praktis untuk membangkitkan kesadaran ini dan meningkatkan kecerdasan emosi menuju kecakapan emosi yang maksimal di tempat kerja. EQ tidak ada yang permanen, dalam arti kata dapat diubah ditingkatkan dan inilah tekad pertama untuk memulai langkah pertama. Pertama, mengenal kekuatan dan kelemahan diri terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa cara dapat dilakukan, di antaranya dengan meminta feedback umpan balik dari orang lain terutama rekan terdekat tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laku yang sudah proporsional dipertahankan dan ditingkatkan, sementara yang dirasa kurang dan tidak profesional sebagai seorang karyawan/pimpinan harus diubah transformasi diri. Kedua, bergaul dan berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter. Seringkali kita terjebak dalam relasi yang menyenangkan, hanya bergaul dengan orang-orang sepaham, bebas konflik, dan alergi dengan perbedaan pendapat. Ketiga, belajar setia dan komit terhadap tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta dilakukan dengan konsisten. Bahkan, tidak hanya itu, dengan mencoba “menantang” diri sebenarnya kita sedang berusaha mengatur diri dengan optimal. Misalnya, jika kesepakatan untuk sales target bulan ini 250 juta, buat “kesepakatan” diri sales target-nya sebesar 300 juta. Jangan cepat puas dengan pencapaian yang sesuai dengan apa yang sudah disepakati. Berilah diri lebih go the extramiles, kita pun akan memperoleh nilai diri lebih dalam performance appraisal. Keempat, kurangi waktu untuk sibuk mengurusi orang lain, apalagi memiliki kegemaran menyebar gosip dan rumor di kantor. Kegemaran ini justru akan menyerap energi kita yang semestinya dapat dipergunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosi tersebut. Hanna 1997 mengatakan bahwa aktivitas demikian justru akan menurunkan rekening bank harga diri kita. Kelima, bertingkah laku asertif, nyatakan benar kalau benar dan salah jika salah. Hal itu dilakukan tentu berdasarkan koridor-koridor dan track etika perusahaan yang profesional. Karyawan/pimpinan yang safety player demi menyelamatkan kedudukan/fasilitas yang dimilikinya dan membiarkan kondisi yang merusak tatanan perusahaan tetap berlangsung menunjukkan kekerdilan kecerdasan emosinya. Keenam, keep learning, terus belajar baik melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari, membaca buku pengembangan diri, mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan yang sifatnya soft skill. Tidak ada kata tamat untuk belajar karena melalui media inilah kita dapat memosisikan diri dalam self continous improvement. Ketujuh, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam doa permohonan dan ucapan syukur. Kita adalah ciptaan-Nya, sudah sepatutnya kembali kepada Sang Pencipta untuk memohon dalam kerendahan hati agar Dia mengubahkan kita. Tak lupa tetap mensyukuri nikmat dan berkat yang sudah kita terima hingga saat pesawat yang sedang take off dan memerlukan power kekuatan besar, demikian pula kita akan memerlukan energi yang besar dan disertai tekad yang bulat untuk mentransformasi diri untuk peningkatan kecerdasan emosi. Ketika benih kemauan sudah mulai bertunas, bentangkan jalan-jalan indah yang akan kita lalui untuk menjadi lebih baik. BC. Forbes Founder Forbes pernah mengemukakan bahwa bekerja merupakan hidangan utama kehidupan, sedangkan kesenangan merupakan hidangan penutup. Lebih memuaskan menjadi sopir truk no. I, daripada jadi eksekutif peringkat kesepuluh. Kecerdasan Spiritual. Nilai-nilai SQ juga berperan penting akan pembentukan prestasi kerja secara umum. Kesalahan selama ini adalah pendewaan akan IQ walau sebenarnya terdapat kecerdasan lain yang perlu diseimbangkan untuk sebuah kesuksesan. Sekularisasi pemikiran masyarakat mengarahkan orang-orang untuk mengejar kesuksesan secara fisikal dan material, seperti karier, jabatan, kekuasaan, dan uang. Orientasi materi dan pemisahan seperti ini dapat menjadi sebab tumbuhnya pemikiran pesimisme bagi mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata, lalu melakukan tindakan tidak etis untuk meraih sebuah kesukesan material. Kesombongan dapat terjadi bagi mereka yang berintelektual tinggi atau mereka yang pintar, tidak menghargai bawahan jika menjadi pemimpin. Kondisi lain, mereka yang terlibat dalam kehidupan material baik bagi yang pintar ataupun tidak, adalah kemudahan untuk tidak bisa bertahan akan benturan permasalahan kerja, mudah frustasi, stress akibat tidak adanya keseimbangan spiritual di dalam diri manusia-manusia modern. Untuk itu kecerdasan spiritual perlu ada di dalam diri seseorang dalam meraih kesuksesan. Danah Zohar dan Ian Marshal mengartikan SQ sebagai pemahaman akan nilai dan kesadaran, Agustian 2001a mengkaitkannya dengan masalah ketuhanan. Seorang karyawan perlu menyadari nilai-nilai kehidupan yang integralistik tidak hanya pada masalah material tapi juga spiritual. Intinya bekerja adalah penting bagi kehidupan dan merupakan ibadah bagi yang melakukannya. Seorang karyawan yang pintar tetap memerlukan SQ, atau jika kemampuan seseorang kurang dapat ditutupi dengan keyakinan adanya Allah yang menolong yakni pada saat keikhlasan bekerja ada di dalam diri. Aspek fisiknya, prestasi hanya dapat dicapai hanya dengan bekerja keras, ketekunan, ketabahan ditambah dengan IQ yang ada pada diri seseorang. Dalam seminar nasional bertajuk “Spiritual Quotient, Cerdas Akal-Cerdas Hati-Cerdas Nurani” di Universitas Muhammadiyah Surakarta UMS di Solo, Agustian 2001b menjelaskan, ketika memasuki rutinitas kerja sehari-hari, manusia sering lupa menyatukan pikiran dan hati, sehingga mengalami split personality kepribadian terpecah dan sulit memaknai hasil kerjanya sendiri. Kita cenderung mengejar kemewahan, uang, pesta pora, dan kesuksesan dalam berbagai usaha, tetapi lupa memaknai setiap hasil usaha dan perilaku kita. Oleh karena itu, kita membutuhkan emotional spiritual quotient ESQ sebagai bekal untuk menyatukan intelligent quotient IQ dan emotional quotient EQ. Kesimpulan dan Saran Faktor keberhasilan seseorang didalam memimpin ternyata bukan semata-mata ditentukan oleh faktor pendidikan formal atau bahkan bukan ditentukan oleh kemampuan dan kecerdasan inteltual, tapi kontribusi terbesar yang mendukung keberhasilan seseorang adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam wujud siltarturahmi basa-basi atau seremonial, tapi silaturahmi yang ikhlas semata-mata untuk mewujudkan dan mempererat tali kasih sayang. Tidak ada artinya tangan bersalaman dan saling tegus sapa antara pimpinan dan bawahannya, tapi hatinya tidak ikut bersalaman. Tidak ada gunanya kalau seorang pemimpin menggembar -gemborkan perlunya silturahmi tapi ia tidak memberikan contoh yang baik dalam melaksanakan siltaturahmi yang berkualitas. Kadang-kadang ada pemimpin yangmampu bersilaturahmi dengan sebagian kecil kelompok, sementara kelompok yang lain diabaikan bahkan luput dari perhatiannya. Hal ini berarti manajemen silaturahmi belum dijalankan dengan baik, sehingga tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan di lingkungan dan leadership dalam setiap jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan harus mengarah pada peningkatan kompetensi berkenaan dengan keterampilan hidup. Keterampilan hidup yang dimaksud bukan hanya kompetensi untuk memperoleh pengetahuan dan untuk memperoleh pengetahuan dan untuk tumbuh berkembang bagi diri sendiri, seperti kemampuan membaca, menulis, berhitung, hidup sehat dan lain-lain, tetapi perlu diberikan kompetensi organisasi dengan baik. Konsep manajemen silaturahmi Masil menghendaki agar semua persoalan dapat diselesaikan melalui pendekatan hati nurani, dengan prinsip saling menyayangi diantara sesama manusia. Keterampilan hidup yang lebih luas, baik di rumah, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat, sehingga anak didik mampu menghayati kehidupan dan lingkungannya. Dalam hal ini kemampuan intra personal dan inter personal sangat mendukung untuk maksud tersebut, agar dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara baik dan efektif. Jadi, dari pemaparan pengertian dari IQ, EQ, SQ, CQ, AQ dapat disimpulkan bahwa kecerdasan intelektualIQ saja tidak cukup tetapi harus saling melengkapi antara EQ,SQ,CQ,AQ Faktor keberhasilan seseorang didalam memimpin ternyata bukan semata-mata ditentukan oleh faktor pendidikan formal atau bahkan bukan ditentukan oleh kemampuan dan kecerdasan inteltual, tapi kontribusi terbesar yang mendukung keberhasilan seseorang adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam wujud siltarturahmi basa-basi atau seremonial, tapi silaturahmi yang ikhlas semata-mata untuk mewujudkan dan mempererat tali kasih sayang. Tidak ada artinya tangan bersalaman dan saling tegus sapa antara pimpinan dan bawahannya, tapi hatinya tidak ikut bersalaman. Tidak ada gunanya kalau seorang pemimpin menggembar -gemborkan perlunya silturahmi tapi ia tidak memberikan contoh yang baik dalam melaksanakan siltaturahmi yang berkualitas. Kadang-kadang ada pemimpin yangmampu bersilaturahmi dengan sebagian kecil kelompok, sementara kelompok yang lain diabaikan bahkan luput dari perhatiannya. Hal ini berarti manajemen silaturahmi belum dijalankan dengan baik, sehingga tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan di lingkungan dan leadership dalam setiap jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan harus mengarah pada peningkatan kompetensi berkenaan dengan keterampilan hidup. Keterampilan hidup yang dimaksud bukan hanya kompetensi untuk memperoleh pengetahuan dan untuk memperoleh pengetahuan dan untuk tumbuh berkembang bagi diri sendiri, seperti kemampuan membaca, menulis, berhitung, hidup sehat dan lain-lain, tetapi perlu diberikan kompetensi organisasi dengan baik. Konsep manajemen silaturahmi Masil menghendaki agar semua persoalan dapat diselesaikan melalui pendekatan hati nurani, dengan prinsip saling menyayangi diantara sesama manusia. Keterampilan hidup yang lebih luas, baik di rumah, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat, sehingga anak didik mampu menghayati kehidupan dan lingkungannya. Dalam hal ini kemampuan intra personal dan inter personal sangat mendukung untuk maksud tersebut, agar dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara baik dan efektif. Jadi, dari pemaparan pengertian dari IQ, EQ, SQ, CQ, AQ dapat disimpulkan bahwa kecerdasan intelektualIQ saja tidak cukup tetapi harus saling melengkapi antara EQ,SQ,CQ,AQ IQadalah Intelligent Quotient atau kecerdasan intelektual. IQ memberikan kecerdasan dalam berpikir dan bertindak secara logis. Peran penting yang dihasilkan oleh IQ meliputi kemampuan manusia berhitung, berimajinasi, beranalogi, dan berinovasi. Kecerdasan ini tidak dapat diamati secara langsung, karena itulah adanya tes IQ. Apa bedanya antara IQ, EQ, dan SQ? Semua istilah ini dibahas tuntas dari sejarahnya, pengertian, dan lain-lain. Udah jadi dambaan tiap ortu kalo anaknya itu bakal jadi anak yang pinter, cerdas dan berbudi pekerti luhur sedaapp. Pasti lo sering ngalamin deh, didoain, diharepin, dipaksa, bahkan diomelin sama ortu cuma biar lo jadi pinter. Oleh karena itu, pasti lo nggak asing dong sama singkatan IQ, yg merupakan singkatan dari Intelligence Quotient atau nilai kecerdasan seseorang. Belom juga ngerti tentang apa itu IQ, eeh udah ada lagi yang namanya EQ Emotional Quotient, dan tiba-tiba muncul lagi istilah SQ Spiritual Quotient. Sebenernya apaan sih itu? Emang bener yah kecerdasan emosional dan spiritual orang bisa dikuantifikasi? Belom juga udah ngerti masing-masing istilah IQ, EQ, SQ itu apa, eeh tiba-tiba kita udah disuruh buat tes IQ lah, test EQ, belajar dan ikut program ini-itu, demi meningkatkan nilai IQ, EQ, dan SQ kita. Naah, sebelom kita capek-capek belajar dan muter otak sampe jungkir balik segala macem demi ningkatin apa yang sebenernya kita belum paham. Naah, blog Zenius kali ini bakal seru banget karena gue bakal kasih tau elo selengkapnya apa itu konsep IQ, EQ, dan SQ yang sebenernya. Oke, kita langsung aja deh nih ngomongin yang pertama. IQ, Intelligence QuotientEmotional Quotient Intelligence Spiritual Quotient Intelligence IQ, Intelligence Quotient IQ atau nilai kecerdasan seseorang. Nah yang ini nih sebenernya konsep yang udah ada sejak akhir abad 19, kira-kira di tahun 1890-an, yang pertama kali dipikirin oleh Francis Galton sepupunya Charles Darwin, Bapak Evolusi. Berlandaskan dari teori sepupunya mengenai konsep survival dari individu dalam suatu spesies, yang disebabkan oleh “keunggulan” sifat-sifat tertentu dari individu yang diturunkan dari orangtua masing-masing. Galton menyusun sebuah tes yang rencananya mengukur intelegensi dari aspek kegesitan dan refleks otot-otot dari manusia. Baru pas awal abad 20, Alfred Binet dibaca Biney, psikolog dari Perancis, ngembangin alat ukur intelegensi manusia yang mulai kepake sama orang-orang. Dari alat ukur ciptaan Binet ini, akhirnya berkembang deh alat-alat ukur IQ sampe yang kita kenal dan pake sekarang. Gara-gara orang mulai sadar sama pentingnya intelegensi dan pengetesannya, mulai deh tuh, para ahli psikologi neliti dan bikin hipotesis tentang kecerdasan. Banyak banget deh yang akhirnya muncul dengan pendapat yang berbeda-beda, masing-masing dengan bukti yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak. Ada yang menganggap bahwa kecerdasan adalah konsep tunggal yang dinamakan faktor G General Intelligence. Ada juga yang menganggap kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set kemampuan, yaitu fluid Gf dan crystallized Gc. Berbagai macam pengetesan kecerdasan dibikin ngacu ke pandangan-pandangan ini sepanjang abad ke 20. Tapi yang lagi ngetren sekarang tuh yang namanya multiple intelligence, atau kecerdasan berganda yang dicetuskan oleh Howard Gardner di tahun 1983. Gardner nyebutin bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum, namun merupakan set-set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu, yang semuanya merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun. Gardner awalnya membagi kecerdasan manusia menjadi delapan kategori yaitu a Music-rhythmic & Harmonic,bVisual-spatial,c Verbal-linguistic,d Logical mathematical,e Bodily-kinesthetic,f Intrapersonal,g Interpersonal,h Naturalistic. Masing-masing lengkapnya kayak apa mending elo Google aja deh, kepanjangannya Men. Intinya, lo bisa tangkep lah dengan gampang kalo liat istilahnya aja. Nah, seiring berjalannya waktu, akhirnya Gardner nambahin lagi aspek kecerdasan kesembilan, yaitu i Existential – yang mencakup sisi spiritual dan transendental. Walaupun populer, teori ini mendapat banyak kritik karena kurangnya bukti empiris. Nah, oleh karena itu, sampe sekarang para ahli belom sepakat dalam ngasih definisi apa itu kecerdasan, diukur pake alat apa, serta apa arti dari skor kecerdasan seseorang. Makanya, sekarang tuh para praktisi ilmu psikologi, pendidik, sekolah, dan beberapa negara maju udah ga make lagi tuh istilah “tes IQ”. Alih-alih mereka bilangnya test tertentu kaya “tes kemampuan akademik”, “tes kecerdasan verbal”, dan sebagainya. Masalahnya, di Indonesia nih masih umum banget istilah IQ. Ga jarang juga kan kita denger pertanyaan “IQ lo berapa?”, “Gimana Men, besok tes IQ, udah siap?”, “Itu butuh IQ berapa sih biar bisa keterima di sekolah/kelompok itu?”, dan sebagainya. Lewat tulisan ini, gue rada pingin nyuarain juga nih ke elo-elo pada, bahwa banyak banget pengetesan yang sebenernya ga ngukur kecerdasan umum, tapi ngakunya sebagai tes IQ. Harus ati-ati deh buat nyikapinnya. Ini bukan berarti yang namanya IQ atau kecerdasan umum itu ga ada yeh. IQ itu ada, tapi yang bermasalah itu alat ukurnya biasanya gak akurat. Jadi biarin deh urusan begituan diserahin dulu ke para ahli bidang yang bersangkutan. Balik lagi nih, ke pandangan umum masyarakat tentang konsep “kecerdasan umum” atau yang dikenal sebagai IQ tadi. IQ gue tinggi, terus? IQ gue jongkok, terus? Kalo nilai skor tes gue jeblok, apa berarti gue orang bego, gitu? Nah, pertanyaan-pertanyaan ini nih ga bisa dijawab dengan jawaban yang simpel kayak “Iya ya ternyata gue bego karena IQ gue rendah”, atau sebaliknya. Yang namanya bego, itu nggak cuma gara-gara IQ lo rendah doang, atau cerdas karena IQ lo tinggi. Gini misalnya, lo punya skor IQ tinggi trus pada suatu kesempatan lo lagi bawa motor. Karena pingin cepet-cepet sampe, lo ambil jalan yang berlawanan arus. Trus gara-gara ini, lo jadi didamprat orang yang lagi jalan kaki di jalur yang semestinya. Trus akhirnya lo dibilang “ah tolol luh!” maapin kata-kata gue kalo rada kasar, gue cuma mau bikin ini lebih realistis aja. Masuk akal juga kan, kalo lo didamprat kaya gitu, padahal skor IQ lo tinggi. Kasus di atas bikin suatu kesan buat kalangan umum non-akademik buat berpikir bahwa kemampuan pikiran belum tentu membuat lo jadi terlihat cerdas dan adaptif dalam bertingkah laku. Padahal kan tadi di atas disebutin bahwa kecerdasan itu pada intinya adalah kemampuan yang membuat manusia adaptif sebagai individu. Pandangan-pandangan umum yang kayak gini yang akhirnya membuat para ilmuwan kejiwaan ngembangin sebuah konsep terpisah yang dinamakan.. Emotional Quotient Intelligence Lah kok, jadi beda istilah?! Tadi di atas bilangnya emotional quotient EQ kok sekarang jadi Emotional Intelligence EI? Sebenernya sih sama, tapi emang udah jelas banget sih kalo istilah EQ yg arti harafiahnya itu “hasil pembagian dari emosi itu salah. Lebih tepat digunakan kecerdasan emosional buat jelasin konsep yang dimaksud. Makanya akhirnya para ahli lebih milih istilah emotional intelligence EI. Ngerti nggak sampe sini Men? Nah, kalo sampe poin ini lo udah bisa pahamin, kita lanjut bahas soal apa yg orang-orang bilang soal EQ atau EI. Sering banget kita denger orang-orang awam suka ngomong “Percuma IQ tinggi tapi EQ jeblok” atau semacamnya. Sering kan? EQ pertama kali dikonsepin oleh Keith Beasley pada tulisannya pada artikel Mensa pada tahun 1987. Tapi, istilah ini baru bener-bener mendunia dan udah ganti jadi EI setelah Daniel Goleman pada bukunya “Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ” yang terbit pada tahun 1995. Walaupun buku ini dianggap bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun oleh Goleman bikin para ahli psikologi rame-rame bikin penelitian tentang hal ini. Kecerdasan Emosional, pada intinya adalah kemampuan kita buat ngidentifikasi, ngukur, dan ngontrol emosi diri sendiri, orang sekitar, dan kelompok. Para peneliti EI punya posisi bahwa EI lebih penting daripada sekadar kecerdasan kognitif. Goleman sendiri membagi kemampuan-kemampuan emosional menjadi lima kemampuan a kesadaran diri,b kontrol diri,c kemampuan sosial,d empati,e motivasi. Goleman berpendapat bahwa tanpa kelima kemampuan ini, orang yang memiliki IQ tinggi bakal kehambat dalam kegiatan akademik serta pekerjaan. Walaupun laku keras di kalangan umum, banyak ilmuwan dan praktisi psikologis yang tetep skeptis sama kecerdasan emosional. Yang paling mereka kritik adalah pengetesannya. Ilmuwan harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun bikin suatu hipotesis, harus didukung sama pengukuran yang akurat. Nah, para ahli psikologi ngekritik EI karena alat ukurnya nggak valid valid ini maksudnya nggak ngukur apa yang harusnya diukur. Alat-alat tes EI itu kebanyakan soalnya berupa pilihan-pilihan jawaban yang bisa aja orang yang ngisi ngibul pas ngejawabnya. Makanya, para ahli kurang bisa nerima hasil pengukuran EI. Belom kelar masalah EI, eh tiba-tiba ada lagi yang ngusulin sebuah konsep kecerdasan baru yang dinamain.. Spiritual Quotient Intelligence Spiritual Intelligence SI atau kecerdasan spiritual. Pertama kali dikonsepin sama psikolog yang bernama Danah Zohar, pada tahun 1997. Konsep ini dapat dibilang baru dalam dunia psikologi, karena emang konsepnya aja belom dianggep matang. Banyaaaak banget kritik soal konsep SI ini bahkan bukan soal pengukurannya atau nilainya, tapi soal konsep dasarnya. SI ini dibuat oleh Zohar untuk mengukur kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupannya, jadi nggak ada hubungannya dengan agama ataupun kerohanian dalam konsep awam. Kemampuan-kemampuan yang menurut Zohar tergabung dalam konsep SI antara lain Spontanitas, visioner, rasa kemanusiaan, kemampuan untuk bertanya hal-hal yang bersifat mendalam seperti “siapakah saya dalam dunia ini?”, kemampuan untuk menerima perbedaan, dan sebagainya. Nah, lagi-lagi, selain konsepnya yang belom mateng, alat ukurnya lebih ngaco lagi, kalo menurut ahli-ahli ilmu psikologi. Alat ukurnya lebih bisa bikin yang ngisi ngibul soal kondisinya, yang akhirnya bikin skor tesnya jadi tinggi-tinggi deh. Susah kan ngukurnya kalo kaya gini!? Seperti biasa, dunia bisnis berkembang jauuuuh lebih cepet daripada dunia ilmu pengetahuan. Kalo ada konsep-konsep yang menarik dan “laku dijual”, para pelaku bisnis pasti cepet tanggep makenya padahal belom yakin itu konsep udah mateng atau belom. Kalo dalam ilmu lain, fisika kimia misalnya, kalo ada penemuan yang belom mateng terus udah laku di pasaran, resikonya kan jelas lah yaa, meledak lah, beracun lah, bikin mati sekampung lah. Nah, kalo dalam ilmu psikologi, dampak-dampak itu nggak keliatan langsung, tapi sebenernya bakal ujung-ujungnya kerasa dampaknya. Contohnya gini deh, konsep EI dan SI belom mateng, alatnya belom valid, tapi udah dipake buat nyeleksi manajer di satu perusahaan. Dari hasil tes dibilang bahwa si calon X punya kecerdasan emosional dan spiritual yg tinggi, tapi tesnya nggak valid. Walhasil, taunya si manajer nggak bekerja sesuai yang diharepin. Akhirnya, sayang kan duit yang dipake buat seleksi dan gaji si manajer X. Maka dari itulah, semua yang kira-kira punya embel-embel “quotient” nya atau “kecerdasan” ini itu emang kedengeran seksi di kuping kita. Yang namanya ortu itu pingin anaknya cerdas, berpekerti luhur, spiritual, dan sebagainya. Udah keniscayaan itu sih. Tapi, kita sebagai kaum terpelajar yang harus berpikir kritis, jangan lah cepet-cepet percaya sama apa pun yang dibilang sama orang lain. Telusurin sendiri sebelom rugi. Di Indonesia nih misalnya, udah jelas konsep EI belom jelas alat ukurnya, pelatihan-pelatihan dan pengukuran EI udah menjamur di mana-mana. Pake alat apa juga nggak peduli deh, yang penting Danah Zohar di atas kan udah bilang kalo SI nggak ada hubungannya dengan agama, tapi pelatihan-pelatihannya banyaaaaaaak banget ini beneran banyak banget yeh, se-Indonesia. Kebayang nggak kalo ternyata konsepnya nggak mateng dan itu pelatihan malah bikin kita jadi cerdas secara spiritual, tapi malah misalnya jadi takut sama kehidupan, ngerasa banyak dosa, dsb. Nggak nyambung dong sama yang dikonsepin sama Danah Zohar? Ya nggak?! Nah, pesen moral dari tulisan ini cuma singkat Sebagai kaum terpelajar, kita harus telusurin dulu sebelum percaya apa pun, terutama kalo itu bisa bikin kita rugi baik secara finansial maupun psikologis. Catatan Editor Seperti biasa kalo ada yang mau nanya, komentar, atau ngobrol sama Faisal, bisa langsung tinggalin comment aja di bawah artikel ini. Buat lo yang belum gabung jadi registered account di Zenius, pastiin lo gabung sama kita dengan daftar Zenius di sini! Berani ngasah otak dan kemampuan berpikir lo? Nih, cobain Zencore! Dengan fitur adaptive learning dan latihan soal CorePractice, lo bisa tingkatin skill matematika, bahasa Inggris, sekaligus verbal dan logika secara gratis. Ketuk banner di bawah buat mulai cobain! *** PERAN(IQ,EQ,AQ,CQ DAN SQ) DALAM BELAJAR. Pengertian Kecerdasan (Intellegence) IQ (Intellegence Quotient) Kecerdasan intelektual adalah syarat minimum kompetensi. Intelegensi diartikan sebagai keseluruhan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif (Marhten Pali, 1993).
Keberhasilan dalam belajar juga ditentukan oleh IQ, EQ, AQ, CQ, dan SQ. Berikut ini adalah penjelasannya. IQ Intellegence Quotient Kecerdasan intelektual adalah syarat minimum kompetensi. Intelegensi diartikan sebagai keseluruhan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif Marhten Pali, 1993. Konsep intelegensi yang pertama kali di rintis oleh Alfred Bined 1964, mempercayai bahwa kecerdasan itu bersifat tunggal dan dapat diukur dalam satuan angka yaitu intelegence Quotient IQ. Ini berdasarklan penelitian terbaru telah terungkap adanya multiple intelligence kecerdasan majemuk. Gardner, 1994 menemukan dalam setiap anak tersimpan 8 kecerdasan yang siap berkembang, yaitu Kecerdasan Linguistik word smart = cerdas berbahasa Kecerdasan Matematik-logis number smart = cerdas angka Kecerdasan Spasial Cerdas gambar Kecerdasan Kinestetik-Jasmani body smart = cerdas tubuh Kecerdasan Musikal Cerdas music = nada suara Kecerdasan Interpersonal Self smart = cerdas diri kecerdasan Intrapersonal people smart = cerdas bergaul Kecerdasan Naturalis cerdas alam. Yang menggembirakan dari paradigma baru tentang intelligence adalah pandangan bahwa TIDAK ADA MURID YANG BODOH ! Setiap anak punya kecerdasan yang menonjol satu atau dua jenis dan siap untuk berprestasi. EQ Emotion Qoutient Penelitan mutakhir menjelaskan bahwa kecerdasan intelektual belumlah cukup. IQ menyumbangkan 20% dari keberhasilan. Yang lebih banyak perannya dalam keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosional 80%. Apakah kecerdasan emosional itu? Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik dan dalam berhubungan dengan orang lain. Jelaslah EQ sangat besar peranannya untuk memilih segala kesuksesan termasuk sukses di bangku sekolah. Daniel Goldman mengembangkan EQ menjadi 5 kategori dengan point-point yakni Kesadaran diri kesadaran emosi diri menilai peribadi dan percaya diri Pengaturan diri pengendalian diri, sikap dapat dipercaya, waspada, adaptif dan inovatif Motivasi Dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimism Empati memahami orang lain, pelayanan, membantu pengembangan orang lain, menyikapi perbedaan dan kesadaran politis Keterampilan social pengaruh persuasi keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, katalisator dan perubahannya, manajemen konflik, keakraban, kerjasama dan kerja tim. AQ Adversity Quotient Mengapa banyak orang yang jelas-jelas cerdas/berbakat tetapi gagal membuktikan potensi dirinya ? Berapa banyak siswa yang memiliki IQ tinggi tetapi gagal dalam meraih prestasi belajar ? Sebaliknya tidak sedikit orang yang memiliki IQ tidak tinggi tetapi justru lebih unggul dalam presatis belajar. Pada umumnya ketika dihadapkan pada kesulitasn dan tantangan hidup kebanyakan manusia menjadi loyo dan tidak berdaya. Mereka berhenti berusaha sebelum dan kemampuannya benar-benar teruji. Banyak orang yang gampang menyerah sebelum berperang. Mereka inilah yang dimaksudkan dengan rendah Adversity Qoutientnya. Adversity Qoetient adalah kemampuan / kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup. Paul G Stoltz adalah, penemu teori AQ ini berdasarkan penelitiannya ada tingkatan AQ pada masyarakat manusia ini, yakni 1. Tingkat Quitters orang-orang yang berhenti Quitters adalah orang yang paling lemah AQnya. Ketika menghadapi berbagai kesulitan hidup, mereka berhenti dan langsung menyerah mereka memilih untuk tidak mendaki, mereka kelua, mundur dan menghindar dari kewajiban/tugas-tugas hidup. Mereka tidak memanfaatkan peluang, potensi dan kesemapatan dalam hidup. Contoh seorang individu yang tidak berkutik hanya mengeluh ketika ditimpa kondisi buruk, mislanya penderitaan, kemiskinan dan kebodohan dan lain-lainnya. 2. Tingkat Campers Orang yang berkemah Campers adalah AQ tingkat sedang. Awalnya mereka giat medaki, berjuang menyelesaikan tantangan kehidupan. Namun ditengah perjalan mereka berhenti juga. Mereka telah jenuh dan bosan, merasa sudah cukup, mengakhiri pendakian dengan mencari tempat yang data dan nyaman. Contohnya seorang yang mengira bahwa sukses itu dalah yang pentidk sudah naik kelas/lulus, meskipun pas-pasan saja. Sudah punya harta/jabatan baru sudah cukup sukses di dunia sudah cukup! 3. Tingkat Climbars Orang yang Mendaki Climbers adalah pendaki sejati. Oang yang seumur hidup mencurahkan diri kepada pendakian hidup. Mereka paham dan sadar bahwa sukses itu bukan hanya dimensi fisik material, tetapi seluruh dimensi fisik, moral, sosial, spiritual dan seterusnya. Mereka adalah orang yang selalu mencari hakikat hidup, hakikat manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dan akan kembali kepada Sang maha Pencipta. Mendaki hidup abadi, yang jauh lebih panjang. CQ Creativity Quotient Creativity/ Kreativitas adalah potensi seseorang untuk memunculkan sesuatu yang merupakan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua bidang dalam usaha lainnya GUIL FORD mendiskripsikan 5 ciri kreativitas Kelancaran/ Kefasihan Kemampuan memproduksi banyak ide Keluwesan Kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan jalan pemecahan masalah. Keaslian Kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinal sebagai hasil pemikiran sendiri Penguraian Kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci Perumusan Kembali Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan melalui cara yang berbeda dengan yang sudah lazim. Beberapa Cara Memunculkan Gagasan Kreatifitas Kuantitas Gagasan Gagasan pertama sebagai cara untuk mendapatkan gagasan yang lebi baik. Pemilihan dari bernagai gagasan Brainstorming Untuk menambah gagasan yang telah ada, untuk mendapat gagasan yang orisinil Sinektik Membuat yang asing menjadi akrab menggunakan analogi dan metafora Memfokuskan Tujuan Membuat seolah-olah apa yang diinginkan akan terjadi besok. SQ Spritual Qoutient Hasil penelitian di ratusan perusahaan dan kalangan eksekutif bisnis menunjukkan bahwa spirit itu sungguh penting. Spirit menjadi salah satu faktor penentu sukses salah satu contoh spirit mereka adalah keyakinan bahwa bisnis itu bermakna besar bagi diri, keluarga dan masa depan umat manusia. Sebaliknya keringnya spirit akan meruntuhkan seseorang atau perusahaan. Pengertian Kecerdasan Spiritual SQ Spiritual adalah initi dari pusat diri sendiri. Kecerdasan spiritual adalah sumber yang mengilhami, melambangkan semangat dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa bata waktu Agus Nggermanto, 2010. M. Zuhri menambahkan, bahwa SQ merupakan kecerdasan yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ciri-ciri SQ Tinggi Menurut Dimitri Mahayana Agus Nggermanto, 2001, cirri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah 1. Memiliki prinsip dan visin yang kuat 2. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman 3. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan 4. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan. Cara Melatih IQ, EQ, AQ, SC dan SQ Melatih IQ, EQ, AQ, CQ dan SQ sekaligus, sangat menajamkan indera kita dalam menangkap materi pelajaran, menajamkan pikiran dalam memahami intisari dari setiap pokok bahasan serta memberikan dorongan kepada akal untuk menghindarkan diri dari gangguan nafsu. Akhirnya konsentrasi kita akan lebih khusuk dan daya tangkap kita akan lebih cemerlang. Memori-memori yang disimpan dalam brankas otak menjadi aman, tidak rusak dan tidak hilang, serta dapat digunakan pada waktunya sesuai kebutuhan.
KecerdasanIQ (Intellegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), AQ (Addversity Quotient),CQ (Creativity Quotient), dan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang merupakan gabungan dari EQ dengan SQ) merupakan bagian dari potensi psikis seseorang yang tidak terlihat dan pelu diasah.
Mas Pur Follow Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw! Home » Pengertian » Pengertian IQ, SQ, dan EQ Beserta Keterkaitannya Oktober 15, 2018 1 min readPenjelasan Singkat Mengenai IQ, SQ, dan EQ – Mungkin banyak orang terutama bagi orang tua ingin mempunyai anak yang pintar dan juga cerdas. Kedua kata tersebut “Pintar dan Cerdas” pastinya tidak lepas dari apa yang namanya IQ atau Intelligence Quotient. Menang IQ menjadi tolak ukur bagi kepintaran seseorang, tapi hal tersebut bisa benar dan juga bisa salah. Karena IQ juga masih dipengaruhi oleh apa yang namanya Spiritual Quotient SQ, dan juga Emotiona Quotient EQ. Lalu apa itu IQ, SQ, dan EQ beserta keterkaitannya, berikut penjelasan IQ, SQ, dan EQIntelligence Quotient IQ atau kecerdasan Intelektual adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan, dan mengolah Informasi menjadi Quotient SQ atau kecerdasan Spiritual adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memberi makna pada apa yang dihadapi dalam kehidupan. Sehingga seorang akan memiliki fleksibiltas dalam menghadapi persoalan di Quotient EQ atau kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, serta kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang IQ, SQ, dan EQSeseorang yang mempunyai kebermaknaan SQ yang tinggi mampu menyadarlan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang diperoleh sehingga ketenangan hati akan muncul. Jika hati telah tenang EQ akan memberikan sinyal untuk menurunkan kerja simpatis menjadi seseorang sudah tenang karena aliran darah sudah teratur, maka seseorang akan dapat berpikir secara optimal IQ sehingga lebih tepat mengambil keputusan. Manajemen diri untuk mengolah hati tidak cukup dengan IQ dan EQ saja, tetapi SQ juga sangat berperan dalam diri manusia sebagai pembimbing kecerdasan sukses tidak hanya cukup dengan kecerdasan intelektual tetapi juga perlu kecerdasan emosional gar merasa gembira, dapat bekerja dengan orang lain, punya motivasi kerja, dan bertanggungjawab. Selain itu kecerdasan spiritual juga diperlukan agar merasa bertakwa, berbakti, dan mengabdi secara tulus, luhurm dan tanpa pamrih. Mas Pur Follow Seorang freelance yang suka membagikan informasi, bukan hanya untuk mayoritas tapi juga untuk minoritas. Hwhw!
IQchỉ là một yếu tố góp phần tạo nên thành công mà thôi, bởi ngày nay người ta muốn coi trọng chỉ số EQ hơn là IQ. 2. Chỉ số EQ. Chỉ số EQ viết tắt của từ Emotional Quotient có nghĩa là chỉ số cảm xúc. Chỉ số này dùng để đánh giá khả năng sáng tạo và óc tưởng Apa Itu IQ, EQ, dan TQ – Grameds, pasti kalian pernah kan mengalami beberapa hal ini. Kalian didoakan, diharapkan, hingga dipaksa, bahkan diomelin sama orang tua kalian cuma biar jadi pintar. Hal tersebut karena punya seorang anak yang pintar dan cerdas merupakan dambaan setiap orang tua. Maka dari itu, tak sedikit orang tua yang suka membawa anak-anaknya untuk tes kecerdasan IQ, EQ, dan TQ. Meski begitu, tentunya setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda-beda dan tidak bisa disamakan satu sama lain. Namun, seiring berkembangnya zaman, hasil tes IQ bukan lagi satu-satunya penentu kecerdasan seseorang. Ada banyak faktor dalam setiap individu yang menentukan kecerdasan maupun kesuksesannya masing-masing. Akan tetapi, sudahkah Grameds mengetahui apa sih sebenarnya IQ, EQ, dan TQ itu? Bagaimana sejarahnya dan apa perbedaannya? Sebelum kita lanjut ke pembahasan yang lebih dalam. Yuk, kita ketahui dulu secara singkat tentang ketiganya. IQ adalah kecerdasan intelektual, sementara EQ merupakan kecerdasan emosional. Nah, kalau TQ, yaitu kecerdasan transendental. Dari namanya, ketiganya memang mirip. Namun, IQ, EQ, dan TQ memiliki perbedaan yang signifikan. Satu-satunya persamaan antara ketiganya, yakni digunakan sebagai ukuran kecerdasan seseorang. Lalu, apa saja perbedaan IQ, EQ, dan TQ? Yuk, simak selengkapnya dalam artikel ini. Pengertian Intelligent Quotient IQSejarah Intelligent Quotient IQJenis-Jenis Intelligent Quotient IQPengertian Emotional Quotient EQSejarah Emotional Quotient EQJenis-Jenis Emotional Quotient EQPengertian Transcendental Quotient TQSejarah Transcendental Quotient TQJenis-Jenis Transcendental Quotient TQKesimpulanRekomendasi Buku & Artikel TerkaitKategori SosiologiMateri Sosiologi Pengertian Intelligent Quotient IQ Intelligence Quotient atau yang biasa kita sebut dengan IQ merupakan suatu indikator untuk mengukur kecerdasan seseorang. Kecerdasan yang dimaksud, yaitu kecerdasan yang terbentuk atas proses pembelajaran dan pengalaman hidup. IQ menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir, mengingat, memahami, mengevaluasi, mengolah, menguasai lingkungan, dan bertindak secara terarah. Biasanya, IQ memiliki kaitan yang erat dengan intelektual, logika, kemampuan menganalisis, pemecahan masalah matematis, dan strategis. Selain itu, IQ juga memiliki keterkaitan dengan keterampilan berkomunikasi, merespons atau menanggapi hal-hal yang ada di sekitarnya, serta kemampuan mempelajari materi-materi bilangan, seperti matematika. Melalui sekolah, kecerdasan ini diasah dengan berpikir secara rasional. Misalnya, saat kita belajar tentang matematika, kita dilatih untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah dari soal itu. Sejarah Intelligent Quotient IQ Nah, sebenarnya dari mana sih konsep tes kecerdasan intelektual ini tercipta? Konsep tes IQ ini mulai ada sejak akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1890-an. Konsep ini diciptakan dan terpikirkan pertama kali oleh Francis Galton sepupu Charles Darwin sang Bapak Evolusi. Galton mengambil landasan dari teori Darwin mengenai konsep survival individu dalam suatu spesies. Sederhananya, yaitu teori mengenai cara bertahan hidup masing-masing orang, karena keunggulan dari sifat-sifat tertentu yang dimilikinya dan merupakan turunan dari orang tua mereka. Galton pun menyusun sebuah tes yang mengukur intelegensi manusia dari aspek kegesitan dan refleks otot-ototnya. Baru lah di awal abad ke-20, Alfred Binet, seorang psikolog dari Perancis, mengembangkan alat ukur intelegensi manusia yang sekarang telah dipakai oleh banyak orang. Di tahun 1983, penelitian mengenai konsep tes intelegensi manusia ini pun berlanjut oleh psikolog Harvard, Howard Gardner. Ia menyebutkan, bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum. Menurutnya, kecerdasan tersebut merupakan beberapa set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu. Semua itu merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun. Seiring perkembangan zaman, orang-orang mulai sadar akan pentingnya intelegensi dan pengetesannya. Banyak para ahli psikologi yang mulai meneliti dan membuat berbagai hipotesis tentang kecerdasan. Muncullah perbedaan pendapat dengan masing-masing bukti yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak. Ada yang menganggap bahwa, kecerdasan adalah konsep tunggal yang dinamakan Faktor G General Intelligence. Ada juga yang menganggap kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set kemampuan, yaitu fluid Gf dan crystallized Gc. Oleh sebab itu, sepanjang abad ke-20, berbagai macam pengetesan kecerdasan pun akhirnya banyak yang berpatokan ke pandangan-pandangan itu. Faktor lain yang turut andil dan memiliki peran besar dalam membentuk kecerdasan seseorang, yakni faktor genetik. Ini lah teori yang dimaksud oleh Galton. Maka, umumnya tingkat IQ seseorang tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil hingga dewasa. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal lain yang mempengaruhi tingkat kecerdasan intelektual seseorang. Misalnya, seperti lingkungan dan ilmu pengetahuan yang didapat selama proses akademik. Jenis-Jenis Intelligent Quotient IQ Mengutip Very Well Mind, menurut Howard Gardner awalnya ada delapan jenis kecerdasan manusia. Kedelapan jenis IQ itu antara lain, sebagai berikut. Kecerdasan linguistik verbal-linguistic Kecerdasan matematik atau logika logical-mathematical Kecerdasan spasial visual-spatial Kecerdasan kinetik dan jasmani bodily-kinesthetic Kecerdasan musikal music-rhythmic and harmonic Kecerdasan interpersonal interpersonal Kecerdasan intrapersonal intrapersonal Kecerdasan naturalis naturalistic Nah, seiring berjalannya waktu, akhirnya Gardner menambahkan satu lagi aspek kecerdasan kesembilan, yaitu eksistensial existential. Kecerdasan yang mencakup sisi spiritual dan transendental. Walaupun akhirnya jenis kecerdasan ini mulai populer, tapi teori mengenai eksistensial ini mendapat banyak kritik karena kurangnya bukti empiris. Oleh karena itu, sampai sekarang para ahli belum sepakat dalam mendefinisikan apa itu kecerdasan, diukur menggunakan alat apa, serta apa arti dari skor kecerdasan seseorang. Di beberapa negara maju, sekarang banyak yang sudah tidak memakai istilah tes IQ lagi. Alih-alih, mereka menyebutnya dengan tes tertentu, seperti tes kemampuan akademik, tes kecerdasan verbal, dan sebagainya. Pengertian Emotional Quotient EQ Emotional Quotient atau EQ merupakan kecerdasan emosional yang berkaitan dengan karakter. Kecerdasan ini berhubungan dengan kemampuan diri dalam mengontrol perasaan, mengenali perasaan orang lain, adaptasi, disiplin, tanggung jawab, kerja sama, dan juga komitmen. EQ pun terkait dengan kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, dan mengontrol emosi dirinya serta emosi terhadap orang-orang di sekitarnya. Seseorang yang tidak memiliki EQ yang baik, tidak akan bisa mengontrol amarah, kurang terbuka, sulit bekerja sama dengan orang lain, mudah curiga, susah memaafkan, hingga tidak bisa berempati, dan lain sebagainya. Banyak hal dalam hidup yang dibangun oleh kecerdasan emosional daripada kecerdasan intelektual. Para peneliti pun mengatakan, bahwa EQ mempunyai posisi lebih penting daripada IQ. Sebab, IQ tidak sama dengan EQ. Bisa saja seseorang yang memiliki IQ rendah, tapi ia memiliki EQ yang amat tinggi. Di samping itu, EQ juga bukan turunan maupun bawaan sejak lahir. EQ dapat diasah, diperkuat, serta diajarkan kapan saja melalui pendidikan karakter, memahami perasaan orang lain, dan sebagainya Begitu juga dalam dunia kerja. EQ menjadi satu hal yang sangat penting. Sebab, kamu tentu tidak akan bekerja seorang diri. Kamu akan berhubungan dan berkomunikasi dengan banyak pihak, seperti rekan kerja, atasan, hingga klien. Maka dari itu, kecerdasan emosional yang baik diperlukan agar kamu bisa menjalin kerja sama yang baik pula. Sejarah Emotional Quotient EQ Konsep Emotional Quotient pertama kali diciptakan oleh Keith Beasley yang dimuat dalam tulisannya di artikel Mensa pada tahun 1987. Akan tetapi, istilah EQ ciptaanya baru mendunia dan berubah menjadi EI setelah Daniel Goleman menerbitkan bukunya pada tahun 1995 yang berjudul “Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ”. Walaupun buku Goleman dianggap bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun olehnya membuat para ahli psikologi lagi-lagi berlomba-lomba membuat penelitian tentang hal ini. Alasan Goleman mengubah istilah EQ menjadi EI karena lebih tepat penggunaannya untuk menjelaskan konsep kecerdasan emosional yang dimaksud. Dari situ lah, akhirnya para ahli juga lebih milih istilah Emotional Intelligence EI. Namun, walau konsep EI ini sudah diterima di kalangan umum. Masih banyak ilmuwan dan praktisi psikologis yang tetap skeptis dengan konsep kecerdasan emosional. Mereka sering sekali mengkritik cara pengetesannya. Pasalnya, ilmuwan harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun membuat suatu hipotesis, maka harus didukung dengan pengukuran yang akurat. Jenis-Jenis Emotional Quotient EQ Goleman pun membagi kemampuan-kemampuan emosional ini menjadi lima jenis. Kelima jenis EQ itu antara lain, sebagai berikut. Kesadaran diri, Kontrol diri, Kemampuan sosial, Empati, Motivasi. Menurut Goleman, orang yang memiliki IQ tinggi tanpa kelima kemampuan ini, akan terhambat dalam kegiatan akademik serta pekerjaannya. Pengertian Transcendental Quotient TQ Transcendental Quotient atau TQ merupakan kecerdasan transendental yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memaknai hidup dan kehidupannya melalui perspektif agama. TQ juga bisa kita sebut sebagai kecerdasan ruhaniah/ilahiyah, yaitu pengembangan dari kecerdasan spiritual SQ. Kecerdasan transendental ini memiliki konsep visioner yang jauh ke depan. TQ berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memahami dan melaksanakan aturan transendental itu sendiri. Bagi umat Islam, aturan trasendentalnya adalah Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sementara bagi umat lain, aturan trasendentalnya adalah peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab agama mereka masing-masing. Meski begitu, konsep kecerdasan transendental ini lebih ditujukan untuk umat Islam. Kecerdasan transendental pada dasarnya harus tercermin pada perilaku manusia. Pemahaman filosofis terhadap kecerdasan transendental dan penerapannya secara konsekuen dan konsisten, memberikan banyak terhadap perilaku manusia di dalam berbagai kondisi. Selain perilaku dalam menjalankan ibadah, perilaku seseorang dengan kecerdasan transendental tinggi juga tercermin pada akhlak mereka yang mulia. Sejarah Transcendental Quotient TQ Konsep kecerdasan yang satu ini merupakan konsep paling baru yang mulai diterima sama banyak orang. Lebih mengejutkannya lagi, konsep kecerdasan transendental ini diciptakan oleh orang Indonesia lho, Grameds. TQ dipelopori oleh pemikiran Toto Tasmara yang diterbitkan dalam buku berjudul Kecerdasan Ruhaniah Transcendental Intelligence pada tahun 2001. Kemudian diteliti lebih lanjut oleh Syahmuharnis dan Harry Sidharta di tahun 2006 dengan menerbitkan buku Transcendental Quotient Kecerdasan Diri Terbaik. Pada bagian pengantar Toto menyampaikan, bahwa penggunaan kata kecerdasan ruhaniah atau Transcendental Intelligence dimaksudkan agar orang-orang lebih mudah memahami perbandingan konsep buatannya dengan konsep kecerdasan spiritual negara Barat. Konsep yang ia tawarkan banyak merujuk pada Al-Quran dan hadis yang diyakini sebagai sumber pemikiran yang bersifat universal dan juga sebagai cara hidup manusia way of life. Dalam menyajikan konsep kecerdasan transendental, Toto banyak mengaitkannya dengan ajaran mahabbah dan akhlak. Menurutnya, kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan yang berpusatkan pada hati yang diliputi rasa cinta mahabbah kepada Allah SWT. Toto pun menggunakan taqwa sebagai indikator pengukurannya. Melalui pemikiran Toto, Syahmuharnis dan Harry Sidharta mencoba penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan berbagai pandangan ilmiah tentang spiritualisme dan konsep kehidupan menurut aturan transendental. Menurut keduanya, konsep kecerdasan ini sangat perlu dipahami agar meresap ke dalam akal budi manusia, sehingga melandasi seluruh perilakunya sehari-hari. Konsep TQ dalam buku mereka pun sama dengan konsep TI ciptaan Toto. Hanya saja, TQ yang merupakan pengembangan lanjutan dari TI ciptaan Toto ini lebih jelas lagi, terutama dalam penjabaran cara pengukuran dan kaitan TQ dengan konsep kecerdasan lainnya yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu, seperti IQ, EQ, SQ, dan lainnya. Jenis-Jenis Transcendental Quotient TQ Menurut Syahmuharnis dan Harry, indikator perilaku manusia dengan kecerdasan transendental TQ yang tinggi dapat diperhatikan dari dua jenis perilaku, yaitu dalam beribadah dan kehidupan sehari-hari. Berikut daftar perilaku manusia yang termasuk dalam dua jenis TQ. Perilaku dalam beribadah mencakup dua hal, yaitu Hanya menyembah Allah SWT. Menjalankan kewajiban agama. Dalam perilaku sehari-hari mencakup 22 hal, antara lain Menyayangi kedua orang tua. Memiliki integritas yang tinggi. Bertanggung jawab. Berlaku adil. Disiplin dan sungguh-sungguh. Cerdas dan berilmu. Tahan terhadap cobaan. Selalu mensyukuri nikmat. Terpercaya amanah. Tidak sombong. Produktif, inovatif, dan kreatif. Selalu berpikir positif dan termotivasi. Selalu berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran. Menjaga kebersihan diri. Percaya diri dan berusaha konsisten. Tidak pemarah dan suka memberi maaf. Tidak boros dan kikir. Bersatu dan menjaga silaturahmi. Peduli dan menghargai. Selalu menjaga ucapannya. Selalu berusaha untuk lebih baik. Memiliki toleransi yang tinggi tanpa mengorbankan aqidah. Bagi para pencipta konsep kecerdasan transendental ini, manusia yang memiliki TQ tinggi maka secara otomatis memiliki EQ, SQ, dan Quotient lainnya dengan tingkat yang tinggi pula. Namun, manusia itu belum tentu memiliki IQ yang tinggi, tapi termasuk orang yang cerdas. Orang-orang yang memiliki TQ tinggi telah memahami dan mengamalkan aturan transendental secara sungguh-sungguh. Tata aturan bagi manusia untuk menjalankan hidup, yaitu memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Aturan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam menjalankan ibadah maupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mereka menjalankan kehidupan dengan selalu mengerahkan akal-budi, menjaga kesadaran diri, mengedepankan etika dan moral, dilandasi iman dan takwa, mengacu kepada aturan trasendental, dan selalu mengiringi perjuangan hidupnya dengan doa dan ibadah. Semua perilaku di atas adalah komponen kecerdasan transendental TQ. Kesimpulan Dari penjelasan diatas, tentunya Grameds bisa menarik kesimpulan dari perbedaan IQ, EQ, dan TQ. Ketiganya memiliki perbedaan yang sangat jauh. IQ digunakan untuk mengukur kecerdasan intelektual, EQ mengukur kecerdasan emosional seseorang, sedangkan TQ adalah ukuran kecerdasan dari sudut pandang agama. Ketiganya memiliki aspek atau jenisnya masing-masing. Grameds pun bisa mengembangkan aspek-aspek tersebut untuk meningkatkan tiga jenis kecerdasanmu. Grameds dapat menemukan banyak sekali buku-buku cara meningkatkan IQ, EQ, dan TQ di Gramedia kesayangan mu atau melalui Nah, itulah penjelasan singkat dan sederhana mengenai IQ, EQ, dan TQ. Sekarang Grameds sudah lebih paham, bukan? Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Penulis Indah Utami Baca Juga! Contoh Soal Psikotes dan Trik Untuk Menjawabnya Mengenal Apa Itu Perkembangan Kognitif dan Tahapannya Pengertian Kurikulum dan Fungsinya Dalam Pendidikan Memahami Apa Itu Teori Psikoanalisis Kemampuan Kognitif Untuk Berpikir Tipe Kepribadian Berdasarkan Golongan Darah Mengenal Sistem Syaraf pada Manusia Cara Menghafal dengan Cepat dan Mudah ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
IQadalah ukuran kecerdasan intelektual, EQ adalah ukuran kecerdasan secara emosional seseorang, sedangkan SQ adalah ukuran kecerdasan dari segi "spiritual". Ketiganya memiliki aspek atau kategorinya masing-masing. Kamu bisa mengembangkan aspek-aspek tersebut untuk meningkatkan tiga jenis kecerdasanmu.

13 Apr 2018 by Liefa Alkautsar* Assalamualaikum Ayah dan Bunda, adakah di sini yang pernah mendengar AQ Adversity Quotient? AQ adalah salah satu jenis kecerdasan yang baru-baru ini muncul, padahal sejak dahulu kala AQ sudah ada di dalam diri manusia. Jika dulu kita disibukkan dengan seberapa tinggi IQ atau kecerdasan intelektual, maka sekarang kita harus lebih terbuka dan mulai mempertimbangkan EQ, SQ bahkan AQ. Karena kesuksesan tak melulu soal angka di dalam raport atau seberapa besar nilai ulangan. Tapi kesuksesan adalah keseimbangan antara IQ, EQ, SQ dan AQ. Sederhananya gini, gimana kita atau anak kita menjadi orang yang cerdas, berakhlakul karimah, sholeh dan bermanfaat untuk semua. Hem,,, enakkan? Hehehe Ok, yuk kita lihat satu persatu apasih IQ, EQ, SQ dan AQ itu? Kecerdasan intelektual atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan kecerdasan yang dibangun oleh otak kiri. Kecerdasan ini mencakup kecerdasan linear, matematik, dan logis sistematis. Kecerdasan ini menghasilkan pola pikir yang berdasarkan logika, tepat, akurat, dan dapat dipercaya. Orang dengan kecerdasan ini akan mampu memiliki analisis yang tajam dan memiliki kemampuan untuk menyusun strategi dengan baik. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri, emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain. Orang dengan EQ yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada pekerjaan, mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan berpegang pada komitmen Dalam teorinya Robert menjawab bahwa kecerdasan Emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan spiritual berhubungan dengan perlindungan dan pengembangan jiwa, yang dalam Kamus Bahasa Inggris Oxford didefinisikan sebagai “identitas moral dan emosional” serta intensitas dari “energi intelektual dan emosional”. Seorang pakar spiritual mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan menggunakan spiritualisme sebagai cara untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah. Menurutnya kecerdasan spiritual terdiri dari empat kemampuan berikut Mampu mengendalikan tubuh dan benda di sekitar. Mampu mengambil manfaat dan makna dari pengalaman sehari-hari. Mampu memanfaatkan sumber daya spiritual untuk memecahkan masalah. Berbudi luhur. AQ Adversity Quotient adalah kecerdasan seseorang dalam mengatasi tantangan atau kesulitan hidup tanpa merasa putus asa. Setiap individu memiliki pola pikir yang berbeda2 dalam memandang "Adversity" tantangan, kesulitan, hambatan maupun emosi. Hanya individu yang ber AQ tinggi mampu bertahan hidup survive. Jadi, jika ada yang bertanya kecerdasan manakah yang lebih baik? Maka jawabannya adalah TIDAK ADA! Ya, karena semua kecerdasan haruslah berjalan seiring dan saling bersinergi. Orang yang cerdas dan berIQ tinggi tidak akan dihormati jika dia tidak menghormati orang lain. Ataupun orang yang cerdas, pandai bersosialisasi tapi tidak bisa survive menghadapi hidup dan selalu merasa putus asa juga tidak akan bisa bertahan. IQ, EQ, SQ dan AQ ibarat anggota tubuh, saling memberikan manfaat dan haruslah tumbuh bersama agar bisa digunakan sebagaimana fungsinya. Walaupun ada salah satu yang dominan bukan berarti kecerdasan yang lain tidak bisa dioptimalkan. Semoga bermanfaat!!! *Pemerhati Pendidikan Anak Tinggal di Sidoarjo

eqmerupakan kependekan dari emotional quotient (kecerdasan emonisional) adalah kemampuan pengendalian diri sendiri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
For centuries a person’s intelligence or academic abilities were measured with a standardised IQ test. The higher a person scored on the test the more academically capable they were perceived to be. Organisations like MENSA were formed with exclusive membership being granted to adults and children who displayed very high IQ levels. In his book, Frames of Mind, Howard Garner challenges the notion that intelligence is a single yardstick on which to measure a person’s abilities and chances of future success. Over the last few decades, other researchers and psychologists have followed suit and also identified alternative ways to measure intelligence that doesn’t only focus on academic abilities. There are four types of intelligence that are commonly used today; Intelligence Quotient IQEmotional Quotient EQSocial Quotient SQAdversity Quotient AQIn this article, we will look at the different types of intelligence, learn more about whether IQ is more important than EQ, SQ and AQ, and find out how parents can incorporate social and emotional development into their child’s education. Meaning of IQ, SQ, EQ and AQIntelligence Quotient or commonly referred to as IQ measures a person’s level of comprehension. This is usually assessed through an IQ assessment that tests a person’s ability to solve mathematical equations, memorise things, identify patterns and recall Quotient EQ or Emotional Intelligence refers to one’s ability to manage their emotions. This includes the ability to understand and self-manage their own feelings in positive ways to communicate effectively, empathize with others, overcome challenges, manage conflict and relieve Quotient SQ or Social Intelligence refers to one’s ability to interact and communicate with others with empathy and assertiveness. This includes a person’s ability to build a network of friends and maintain it over a long period of Quotient AQ refers to one’s ability to overcome challenges or adversity. When faced with troubles, the Adversity Quotient considers who will give up, who will abandon their family, and who will contemplate Goleman, author, psychologist and journalist for the New York Times, stated that “as much as 80% of adult success comes from EQ”. His research shows that people who have higher emotional and social intelligence tend to go further in life than those with a high IQ but low EQ or SQ. Every child is different, with unique learning needs and personalities. Saying that one intelligence type is more important than another is like saying that it is more important to learn maths than languages. Whilst each subject is important in schooling, what is most important is that a child builds educational foundations that will serve them through their adult life. The same logic can be applied when comparing different types of intelligence. It is simply not logical to think that one type of intelligence is more important than another. Developing a child’s social skills, self-awareness, self-control and coping mechanisms are not only important for learning but also vital to succeed as adults in a workplace environment. Social and emotional learning in schoolsBenefits of social and emotional learningThere are tangible and practical reasons to incorporate social and emotional learning into a child’s education. According to Goleman, incidences of bullying, peer pressure, behavioural problems, violence and substance abuse are reduced in schools that focus on developing their students' EQ and SQ. This in turn leads to improved academic performance and behaviour. CambriLearn’s social and emotional learning courseCambriLearn offers an in-depth social-emotional learning course to help children navigate these critical developmental areas. The course is completed online through interactive lessons and group projects to help learners discover constructive ways to process their emotions and interact with others in a respectful way. In this course, students learn to Recognise and practice character strengths, like curiosity, persistence, and and manage their emotions, like fear and in a team, listen to and appreciate each the consequences of their actions to others. Students who have completed the social-emotional learning course with CambriLearn have shown improved self-esteem and self-awareness,attitude and relationships,ability to cope with social and peer pressures, learning outcomes.
vaqVcXD.
  • nxeg850j53.pages.dev/232
  • nxeg850j53.pages.dev/293
  • nxeg850j53.pages.dev/245
  • nxeg850j53.pages.dev/216
  • nxeg850j53.pages.dev/148
  • nxeg850j53.pages.dev/4
  • nxeg850j53.pages.dev/151
  • nxeg850j53.pages.dev/367
  • nxeg850j53.pages.dev/31
  • pengertian iq eq aq cq sq